Cerita dibawah ini merupakan cerita fiktif dengan terinspirasi
dari beberapa kejadian nyata. Jika ditemukan kesamaan cerita ataupun tempat kejadian
itu semua terjadi karena factor ketidaksengajaan.
Author POV
Semilir angin menghempaskan lembut rambut hitam
seorang gadis yang kini berdiri tepat didepan sungai han. Tatapan kosong lurus
kedepan bisa saja membuatnya terlupa dengan keadaan nyata disekitarnya. Raut
wajahnya seolah menggambarkan suasana hati yang kini dapat dikatakan tidak
baik. Didalam pikirannya tersirat beribu-ribu pikiran yang sedari tadi bahkan
mungkin beberapa hari ini hadir tidak diinginkan. Masih teringat dengan jelas
ucapan sang ayah yang mengatakan:
“Kau
harus jadi ekonom”
gadis
itu pun menggelengkan kepalanya kuat mencoba menghilangkan semua ucapan yang
dikatan ayahnya tersebut. Bagaimana tidak, keinginan ayahnya yang menginginkan
putrinya memilih jurusan ekonomi ketika kuliah berbanding terbalik dengan apa
yang diinginkan dirinya. Melihat wartawan mengejar berita, menunggu narasumber
berjam-jam, dan menulis serta melaporkan suatu kejadian adalah hal yang sudah
lama dicita-citakannya.
“apa
yang kau dapat dari menjadi seorang wartawan?”
Ucapan
itu masih terus-menerus hinggap didalam kepalanya. Ayahnya mungkin memang benar
jika dirinya menjadi wartawan apa yang didapatnya tidak sebanding dengan jika
dirinya menjadi seorang ekonom, akan tetapi bukan itu satu-satunya alasan
dirinya harus merubah keinginan dan jalan hidup yang dia inginkan. Kemampuan
menulis dan mengeja kata sudah terlihat bahkan ketika dirinya duduk di bangku
sekolah dasar. Menulis cerita pendek di majalah dinding sekolah ataupun
mengumpulkan berita dimajalah dan kemudian di kumpulkan dan di ceritakan
kembali dengan bahasanya sendiri adalah hal yang sudah lama ia jalankan dan ia
menyukai hal itu. Ayahnya berpikiran bahwa dengan dirinya menjadi seorang ekonom
ataupun seseorang yang bekerja dibidang ekonomi sudah pasti akan memiliki
kehidupan yang jelas. Lantas apakah dengan menjadi wartawan hidupnya tidak
jelas? lagi-lagi pikiran berontak itu keluar.
Flashback
“Ayah,
menjadi wartawan adalah keinginanku dan aku yakin aku bisa mendapatkan hidupku
dengan menjadi wartawan. Aku mohon, tolong ayah ijinkan aku mencapai apa yang
aku inginkan”
Untuk
pertama kalinya ia mencoba mengeluarkan apa yang ia rasakan dan ia ingin katakana.
Selama ini sudah mencoba untuk menurut dan mengikuti apa yang diinginkan kedua
orang tuanya khususnya ayahnya. Merasa tidak direspon atas apa yang
dikatakannya ia pun berkata “aku akan menunjukkan pada ayah bahwa aku bahagia
dengan pilihanku”. Mendengar putrinya berkata seperti itu sang ayah menoleh
dengan menunjukkan ekspresi kagetnya. Bagaimana tidak selama ini putrinya
dikenal sebagai anak yang penurut dan tidak pernah membantah namun tidak untuk
kali ini. Dengan langkah cepat ia keluar dari ruang tengah yang terlihat tidak
begitu luas namun cukup menempatkan 2 buah sofa panjang, dengan 1 meja serta 1
buah meja sebagai hiasannya. Sang ayah masih tetap diposisinya dengan berusaha
menyerap kata-kata yang dikeluarkan putrinya barusan.
Flashback end
“apa
yang harus aku lakukan?” gumamnya yang nyari tidak terdengar bahkan oleh
telinganya sendiri. Mencoba menahan rasa panas dimatanya ia pun menundukkan
kepalanya.
drrttt,
drttt, drrttt…..
Dikeluarkannya
ponsel yang sudah bergetar sedari tadi, dan terlihat jelas panggilan masuk dari
sang ayah. Dengan perasaan ragu ia pun menjawab telpon dari ayahnya tersebut.
“Halo…”
“Pulanglah..
Ada hal yang ingin ayah katakana dan ini ada hubungannya dengan masa depanmu”
deg..
ia
sama sekali tidak ingin pertengkaran yang sebelumnya terjadi kini harus
terulang akibat dirinya dan tentunya sang ayah yang sama-sama tidak ingin
melepaskan ego mereka.
“baiklah
ayah aku akan pulang segera”
Ditarik
napasnya dan kemudian dibuangnya secara kasar, mencoba untuk merefleksikan
dirinya yang kali ini mungkin akan menghadapi sesuatu yang tidak akan ia
bayangkan sebelumnya.
Dirumah
“ayah
sudah memutuskan” ucap laki-laki setengah baya yang kini duduk tepat didepannya.
“kau…”
ia pun mencoba mendongak melihat sang ayah yang sedari tadi bicara
“kau
silahkan memilih jalan hidup yang kau inginkan, ayah sudah memikirkan hal ini.
Ayah tidak bisa selamanya mengatur kehidupanmu, kau berhak menentukkan hidupmu
sendiri dan kini ayah mengijinkan kau untuk menjadi seorang wartawan”
Merasa
tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia mencoba bertanya
kembali untuk mempertegas
“apakah
itu benar ayah?” ucapnya setengah menangis
“iya,
itu benar. Ayah akan mendukung apapun keputusanmu”
Tidak
bisa berkata apa-apa ia pun segera menghambur memeluk ayahnya.
“terima
kasih ayah, terima kasih” ucapnya dengan nada suara yang kini sudah menangis
kencang
“Kau
berhak mearih cita-citamu. Dimana pun tidak ada orang tua yang tidak ingin
melihat anaknya bahagia. Dan ayah menyadari bahwa kebahagianmu adalah menjadi
apa yang kau inginkan. Raihlah apa yang kau inginkan nak, jangan kecewakan
orang tuamu”
End