Pages

Rabu, 12 Juni 2013

Ini Keinginanku

Cerita dibawah ini merupakan cerita fiktif dengan terinspirasi dari beberapa kejadian nyata. Jika ditemukan kesamaan cerita ataupun tempat kejadian itu semua terjadi karena factor ketidaksengajaan.

Author POV

Semilir angin menghempaskan lembut rambut hitam seorang gadis yang kini berdiri tepat didepan sungai han. Tatapan kosong lurus kedepan bisa saja membuatnya terlupa dengan keadaan nyata disekitarnya. Raut wajahnya seolah menggambarkan suasana hati yang kini dapat dikatakan tidak baik. Didalam pikirannya tersirat beribu-ribu pikiran yang sedari tadi bahkan mungkin beberapa hari ini hadir tidak diinginkan. Masih teringat dengan jelas ucapan sang ayah yang mengatakan:
“Kau harus jadi ekonom”
gadis itu pun menggelengkan kepalanya kuat mencoba menghilangkan semua ucapan yang dikatan ayahnya tersebut. Bagaimana tidak, keinginan ayahnya yang menginginkan putrinya memilih jurusan ekonomi ketika kuliah berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan dirinya. Melihat wartawan mengejar berita, menunggu narasumber berjam-jam, dan menulis serta melaporkan suatu kejadian adalah hal yang sudah lama dicita-citakannya.  
“apa yang kau dapat dari menjadi seorang wartawan?”
Ucapan itu masih terus-menerus hinggap didalam kepalanya. Ayahnya mungkin memang benar jika dirinya menjadi wartawan apa yang didapatnya tidak sebanding dengan jika dirinya menjadi seorang ekonom, akan tetapi bukan itu satu-satunya alasan dirinya harus merubah keinginan dan jalan hidup yang dia inginkan. Kemampuan menulis dan mengeja kata sudah terlihat bahkan ketika dirinya duduk di bangku sekolah dasar. Menulis cerita pendek di majalah dinding sekolah ataupun mengumpulkan berita dimajalah dan kemudian di kumpulkan dan di ceritakan kembali dengan bahasanya sendiri adalah hal yang sudah lama ia jalankan dan ia menyukai hal itu. Ayahnya berpikiran bahwa dengan dirinya menjadi seorang ekonom ataupun seseorang yang bekerja dibidang ekonomi sudah pasti akan memiliki kehidupan yang jelas. Lantas apakah dengan menjadi wartawan hidupnya tidak jelas? lagi-lagi pikiran berontak itu keluar.

Flashback
“Ayah, menjadi wartawan adalah keinginanku dan aku yakin aku bisa mendapatkan hidupku dengan menjadi wartawan. Aku mohon, tolong ayah ijinkan aku mencapai apa yang aku inginkan”
Untuk pertama kalinya ia mencoba mengeluarkan apa yang ia rasakan dan ia ingin katakana. Selama ini sudah mencoba untuk menurut dan mengikuti apa yang diinginkan kedua orang tuanya khususnya ayahnya. Merasa tidak direspon atas apa yang dikatakannya ia pun berkata “aku akan menunjukkan pada ayah bahwa aku bahagia dengan pilihanku”. Mendengar putrinya berkata seperti itu sang ayah menoleh dengan menunjukkan ekspresi kagetnya. Bagaimana tidak selama ini putrinya dikenal sebagai anak yang penurut dan tidak pernah membantah namun tidak untuk kali ini. Dengan langkah cepat ia keluar dari ruang tengah yang terlihat tidak begitu luas namun cukup menempatkan 2 buah sofa panjang, dengan 1 meja serta 1 buah meja sebagai hiasannya. Sang ayah masih tetap diposisinya dengan berusaha menyerap kata-kata yang dikeluarkan putrinya barusan.

Flashback end
“apa yang harus aku lakukan?” gumamnya yang nyari tidak terdengar bahkan oleh telinganya sendiri. Mencoba menahan rasa panas dimatanya ia pun menundukkan kepalanya.

drrttt, drttt, drrttt…..
Dikeluarkannya ponsel yang sudah bergetar sedari tadi, dan terlihat jelas panggilan masuk dari sang ayah. Dengan perasaan ragu ia pun menjawab telpon dari ayahnya tersebut.
“Halo…”
“Pulanglah.. Ada hal yang ingin ayah katakana dan ini ada hubungannya dengan masa depanmu”
deg..
ia sama sekali tidak ingin pertengkaran yang sebelumnya terjadi kini harus terulang akibat dirinya dan tentunya sang ayah yang sama-sama tidak ingin melepaskan ego mereka.
“baiklah ayah aku akan pulang segera”
Ditarik napasnya dan kemudian dibuangnya secara kasar, mencoba untuk merefleksikan dirinya yang kali ini mungkin akan menghadapi sesuatu yang tidak akan ia bayangkan sebelumnya.

Dirumah
“ayah sudah memutuskan” ucap laki-laki setengah baya yang kini duduk tepat didepannya.
“kau…” ia pun mencoba mendongak melihat sang ayah yang sedari tadi bicara
“kau silahkan memilih jalan hidup yang kau inginkan, ayah sudah memikirkan hal ini. Ayah tidak bisa selamanya mengatur kehidupanmu, kau berhak menentukkan hidupmu sendiri dan kini ayah mengijinkan kau untuk menjadi seorang wartawan”
Merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia mencoba bertanya kembali untuk mempertegas
“apakah itu benar ayah?” ucapnya setengah menangis
“iya, itu benar. Ayah akan mendukung apapun keputusanmu”
Tidak bisa berkata apa-apa ia pun segera menghambur memeluk ayahnya.
“terima kasih ayah, terima kasih” ucapnya dengan nada suara yang kini sudah menangis kencang
“Kau berhak mearih cita-citamu. Dimana pun tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Dan ayah menyadari bahwa kebahagianmu adalah menjadi apa yang kau inginkan. Raihlah apa yang kau inginkan nak, jangan kecewakan orang tuamu”

End